Senin, 30 Juni 2014

Judul?

Selamat malam aku ucapkan kepadamu.
Akan ku tulis sesuatu yang sangat ingin aku sampaikan, dan sangat ingin aku ungkapkan melalui jeritan demi jeritan yang melukai hatiku ini, bertepatan dengan bulan Ramadhan yang mulia..

Harus kumulai dari mana? Entah, aku tak mengerti apa yang aku rasakan malam ini. 
Aku tak tahu bagaimana bentuk hatiku yang sekarang, apakah masih utuh, atau sudah lebur berantakan? Aku sama sekali tak mengerti rasa sakit yang mengganjal dadaku ini. Tumbuh payudara? Sepertinya tidak mungkin karena aku seorang lelaki..

Lelaki, ya itu dia.. itu aku.
Aku adalah seorang lelaki yang dilahirkan ibuku ke dunia ini, anak pertama, dan menanggung beban paling banyak. Sangat banyak, dibanding kedua adikku yang masih duduk di bangku sekolah. 
Aku, adalah seorang lelaki perasa. Aku tak mampu melakukan semua hal yang dilakukan lelaki-lelaki lain untuk pasangannya di dunia ini. Aku terlalu bodoh, aku terlalu dungu soal ini. Dibanding beban yang aku rasakan setelah umurku genap 18 tahun, rasanya hal ini yang paling membingungkan. Tak jarang, air mataku jatuh sendiri, tak ada sebab, tak ada angin maupun hujan atau debu yang membuat mataku kelilipan. Semua itu tak masuk akal, benar-benar diluar dugaan otakku yang pada dasarnya ialah pengendali semua rasa.

Aku, menurut kebanyakan orang, aku aneh..
Ya, benar, aku hanyalah seorang lelaki pengidap sindrom kekanak-kanakan dan ADHD. Walaupun begitu, aku tetap terus mencoba dan tak patah semangat untuk terus memberikan apa itu arti hidup untuk semua orang. Dan untuk seseorang yang aku sayang pula..

Aku tak bisa melakukan apapun.. Yang aku bisa lakukan hanya menggambar , membuat sebuah artwork dari setiap pixel aplikasi photoshop di laptop yang kupunya, bernanyi sendiri diluar kamar kos, memetik gitar dan memandangi jutaan bintang yang bersinar menyilaukan sinar masa lalunya, entah berapa ratus tahun cahaya aku dapat menggapainya, tanpa pernah ada yang mengerti bagaimana keadaan hatiku dibawah sini. 
Tapi bukan berarti aku tak mempedulikannya. Mempedulikan ia yang selalu aku dukung melalui doa. Tanpa ia sadari dan mungkin takkan pernah ia sadari, bukan hanya ia yang menangis, bukan hanya ia yang selalu berusaha menunggu, bukan hanya ia.. Tetapi aku, aku yang merasakan rasa sakitnya diriku saat aku mencintai, sayatan demi sayatan yang menusuk, melalui celah tulang rusuk dan menembus jantung, itulah yang aku rasakan. Karena apa? Karena aku lelaki. Aku masih mampu menahannya, bagaimanapun itu, bagaimanapun rasa sakit itu terus menghujam seluruh isi hatiku, aku masih mampu menahannya demi dirinya. Bahkan bila itu rasa sakit darinya, aku tetap mampu menahannya.. ya.. aku tahan itu semua demi dirinya..
Tetapi sampai kapan aku menahan ini? Tak ada orang yang mampu melihat diriku sampai ke hatiku yang paling dalam. Aku memang bodoh, mengharapkan sesuatu yang tak mungkin bagi orang sepertiku menggapainya. 

Kadang, saat bulan muncul diatas langit, aku sangat ingin berteriak dari sini, dari atas atap kosan, menatap kosong, dan meneriakinya dengan namamu. Agar kau tahu bagaimana aku merasakan semua beban di tubuhku yang kurus ini. Ingin rasanya aku mengakhiri ini semua, tapi aku tak mampu. Ingin rasanya aku menyalahkan Tuhan atas semua beban yang ia berikan kepadaku. Sangat! 
Tapi aku tahu, itu dosa besar.
Senyum di bibirku mungkin perlahan pudar karena terhapus rasa amarahku yang ingin aku lampiaskan kepada setiap mili rasa sakit ini. Bahkan kalau aku mau, akan aku bunuh diriku yang sekarang, dan akan kubuat diriku yang baru, yang dingin, dan membiarkan diriku dibenci oleh dunia serta segala isinya.
Tapi aku juga tahu, itu tidak berguna sama sekali.

Aku sudah kehabisan tenaga. Aku sudah tak tahu kemana harus kuadukan hati ini. Kepadamu? Kau saja tak mengerti bagaimana keadaan hatiku ini.. Apa yang aku lakukan selalu bertolak belakang, dan setiap kata yang aku ucap hanya menjadi bencana. Mungkinkah aku orang paling sial di dunia ini? 

Yang aku mau tak pernah tercapai. Ia jauh, meninggalkanku dibawah, yang mengejarnya setengah mati meniti satu persatu anak tangga yang juga ia naiki.. Aku tahu ia menoleh ke belakang, tapi karena terlalu jauh, ia tak bisa kulihat sama sekali. Yang aku lakukan seperti tidak berguna, aku mengejar sebuah harapan dengan isi hati kosong, dan tak ada satupun dari isi dunia ini yang mengerti bagaimana seorang lelaki sepertiku rapuh. Mereka hanya menunggu hingga aku hancur, sementara aku masih berlari.

Mungkin apa yang aku tulis ini adalah bentuk keputus-asaan. Tanpa ada satupun harapan yang kugantung bersama jutaan bintang disana.. Aku menyerah dengan keadaan diriku yang diinjak kaki dunia. Aku menyerah dengan rasa sakitku, aku berikan hati ini untuk terus dicabik.. Tapi tolong, tetap jaga satu hati yang kusimpan pada tubuh lain, yang terus aku percayai walaupun ia membawa pisau yang suatu saat dapat membunuhku yang terbaring tak berdaya disini.

Aku hanya berharap pada hujan, semoga tetesannya dapat menyapu setiap tetes darah yang terus mengalir deras dari hati yang bocor dan tersayat..