Kamis, 19 November 2015

# Cerpen Dulu Yuk

SIKLUS
A short story about me. (Oleh : Anshory)
“tak..tuk..tak..tuk..”
Suara langkah derap kakiku berlarian diantara ujung lorong kampus menuju lahan parkir kendaraan roda dua di lantai bawah senja hari itu. Berlinang air mata. Berundung duka dan sakit hati, menahan kesal dan amarah. Kubendung tetes demi tetes mutiara yang jatuh dari ujung kelopak mataku dengan ujung jari. Entah mengapa sambil aku mengumpatkan sumpah serapah yang tak pantas aku ucapkan walau hanya dalam hati. “BAJINGAN! BANGSAT!” Makin ku ucap rasanya dada ini semakin sesak dan tak muat menampung seluruh kekesalan batin yang sudah memilu. Bahkan pada Tuhan-pun saat itu aku hampir tak ingat. Yang aku ingat, hanya kata demi kata putus, yang aku baca dari sms yang masuk di handphone-ku dari orang – yang awalnya – bertahta dengan mahkota sang ratu di hatiku yang sedang tersayat sekarang.

Hai, perkenalkan. Aku adalah manusia setengah patahan hati. Yang memiliki seluruh perasaan cinta pada seseorang, namun orang itu mencintaiku dengan hanya setengah sadarnya saja. Aku juga manusia pengumpat, pengucap sumpah serapah, pendendam, dan pendoa karma. Semua itu aku lakukan ketika aku dalam kondisi dimana setengah hatiku dia hancurkan begitu mudahnya. Dia pecahkan bak piring kaca yang dilemparkan ke sudut tembok. Tak jadi utuh kembali. Teracak, dan tak bisa disatukan. Di lem? Mana mungkin.

Masih belum bisa aku lupakan isi pesan singkat yang masuk sore itu, yang membuat aku sebegitu hancur lebur dan bak orang penyakitan. Bukan penyakit fisik yang biasa menyerang manusia karena kuman, virus, atau bakteri. Namun ini lebih kepada penyakit psikis dan mental untuk seorang lelaki yang sedang membangun cinta dan harapannya selama 4 tahun –kurang lebih- totalnya. Di ujung pesan singkatnya, ia mengucapkan sepenggal kata ‘terimakasih’ karena telah mengisi hari-harinya selama 4 tahun belakangan. BUSUK. Sejujurnya, aku tak mengharapkan kata-kata terimakasih palsu yang jelas-jelas keluar dengan tujuan yang  tertinggal. Siapa? Aku. Aku yang ia tinggalkan. Maka manusia mana yang memang terima bila kasihnya ditinggalkan?

Aku berpikir, ini mungkin sebuah perputaran. Karena ada pepatah yang sering kudengar, ketika ada pertemuan, disitulah akan terjadi perpisahan. Mungkin bagian perpisahanlah yang sekarang sedang aku rasakan, dengan sedikit bumbu-bumbu drama yang menyesakkan. Dari situ, ada dua kata yang dapat aku simpulkan hari itu bahwa : Aku Dibuang.

Lalu, apa yang terjadi dengan pesan singkat itu?

Singkatnya, pesan itu tak kubalas. Pikirku, aku terlalu dungu jika beradu debat kusir dengan seorang wanita yang merasa dirinya sedang kehilangan cinta. Padahal, tanpa ia harus bertanyapun cinta yang ia maksud selalu sudi memberikannya. Tanpa harus ia mencarinya pun, aku sebagai perwujudan cintanya sudah ada di kehidupannya, dan bahkan tanpa bantuan dukun dan wangsit dari kuburan-pun, aku sudah terkubur bersama larut kasih sayangnya. Banyak alasan yang ia ungkap salah satu dan yang paling besar adalah jarak. Memang, hubungan diantara kita terpisah oleh ratusan kilometer, namun bagiku itu tak menjadi masalah serius jika satu sama lain saling mempercayai. Kutegaskan. Jarak, waktu, perasaan, dan lain-lain itu hanya sebagai salah satu faktor pendukung saja. Sisanya? Tergantung tingkat lebay-atau-tidak nya seseorang dalam menjalankan faktor-faktor ini menjadi satu kesatuan yang dinamis dan berjalan mulus mengikuti roda kehidupan. Dan pada intinya dalam masalah ini yah mau tidak mau, tetap saja kembali lagi kepada akar masalah dari dua kata yang aku simpulkan diatas. Aku Dibuang. Dibuang begitu saja bak boneka bekas yang dahulu ia mainkan dengan lugu, kemudian ia taruh diatas rak berdebu, dan saat tak terpakai, boneka itu kemudian tergantikan dengan yang baru suatu saat nantinya.

Persetan.
Ternyata selama ini, aku berteman kasih dengan orang yang salah.

Aku coba kembali menata kepingan-kepingan hidup yang sudah kubuang sia-sia hanya dengan memikirkan seseorang yang tak balik memikirkan perasaanku yang terpinggirkan oleh keegoisan. Perlahan, dengan tak pasti. Hingga akhirnya sang boneka ini menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, bahwa tuan nya dahulu telah memiliki boneka mainannya yang baru. Hihihi. Sudahlah, aku hanya berharap pada penampungan barang bekas. Semoga suatu saat ada seseorang yang bermurah hati memungutku tanpa harus ia buang kembali. Namun harapan, tetaplah harapan. Lagi, kucoba kembali menatap masa depan yang aku rasa suram (terlebih perihal masalah perasaan dan cinta yang tak ada ujungnya). Aku tau pemikiranku ini salah. Tapi, akan lebih salah bila aku diam dan membiarkan diriku dan perasaan ini jatuh didalam keheningan sepi dan kelamnya jurang kesakit-hatian yang menelan jutaan korban diluar sana hingga mati konyol dengan kondisi leher patah dan lidah yang menjulur menahan sakitnya sakratul maut karena tergantung pada seutas tali di ujung langit-langit kamar mereka. Oh, Tuhan.. maafkan. Aku tak sekonyol itu.

Berkali aku coba melampiaskan jalur hidupku yang tak jelas. Melampiaskan seluruhnya kepada rasa-rasa yang aku punya. Kepada bakat-bakat yang aku miliki. Pada para rentetan pensil warna, pada untaian senar gitar, pada ketukan-ketukan keyboard laptop, dan terutama pada dunia yang mendidikku terlalu keras. Sambil bertanya-tanya “apa aku tidak berhak memilih?” padahal diluar sana, dunia menyediakan banyak pilihan. Sementara hati ini masih kosong, menunggu adanya air segar yang membasuh luka-luka yang dalam dan perih. Bukan masalah kuat atau tidak, bukan masalah lebay atau nggak lebay, tapi ini semua masalah mentalitas seseorang. Karena faktanya, orang yang terlihat kuat diluar, biasanya banyak menyimpan sakit didalam.

Dan kini, aku mulai meninggalkan ia yang kini aku namakan, masa lalu.

Suatu waktu, ketika perlahan semua mulai kembali dalam keadaan normal, kulihat ada cahaya yang memiliki kekuatan lain yang menembus kornea mataku. Cahaya itu datang seperti air segar yang aku maksudkan untuk membasuh dan mengobati luka hati stadium 3. Aku sadar, ini bukan cahaya dari masa lalu, karena yang aku tatap saat itu adalah adanya harapan.

Aku kembali mengenal seorang wanita. Namun kali ini berbeda. Ia jauh lebih lain. Pola pikir dan tuturnya sedikit banyak membuatku mulai menundukkan kepala dan berpikir ‘siapakah gerangan wahai engkau pembuat buta mata dan hati?’ walau tak ku gubris sebaik-baik apapun aku. Aku mulai mencoba menatap sosok itu, memperhatikan setiap senyum dari bibirnya yang tipis dan rambut kecoklatannya yang tergerai, sambil menikmati malunya tatap yang terhalang oleh lensa kacamata. Kurasakan ia dekat, namun kedekatannya tak sedekat yang terbayang. Seakan-akan ia mencoba menarik ulur aku dengan permainannya yang memang tak begitu membingungkan. Namun, semua hal itu menjadi berarti ketika aku mendapati diriku sendiri tersenyum manis di depan cermin. Mungkin saat inilah saat-saat yang aku rindukan. Menantikan kehadiran seseorang yang melipur laraku dan bersama kembali meniti benang-benang harap yang putus oleh tajamnya kekampretan yang aku sebut masa lalu. Saat itu aku berpikir bahwa ia adalah cahaya. Seberkas sinar yang memberiku semangat menghadapi setiap ganjal tantangan. Dan titik dimana aku bisa kembali menemukan potongan-potongan hati yang telah lama aku lempar. Dan, tempat dimana aku mulai terbangun dari mimpi buruk yang selama ini menghantui.

Kusapa kembali kebahagiaan yang datang dari jauh. Halo! Apa kabar teman lama! Telah lama aku menunggunya penuh harap-harap cemas. Saat ia tak datang hanya sepi sebagai temanku bernaung dibawah guyuran hujan keputus asaan. Kebahagiaan telah kembali pulang kampung, mengisi keseharianku yang dulunya hampa. Aku dan wanita itu. Kita, berdua. Bersama menapaki kerasnya kulit dunia yang sekeras krupuk salah goreng. Mungkin Tuhan mulai menguji diriku dengan memberikan dia yang saat ini jari-jemarinya aku genggam erat. Dan, mungkin juga konyol, karena aku tak mengucapkan sepatah kata cintapun padanya. Rasa ini mengalir begitu saja seperti aliran air sungai yang tak mau berhenti walau terbendung bebatuan dan, ia pun menerimanya. Sakit itu kini mulai hilang. Sepi itu kini mulai pergi, terusir oleh kedatangan dia yang merebahkan kepalanya di bahuku. Ah, saat-saat yang menyenangkan. Untukmu, perempuanku, yang sedang dalam pelukanku saat ini, berkeluh kesah tentang semua masalahmu dan semua beban yang kau tanggung sendiri pada bahumu yang kecil. Berkeluhlah. Karena hanya ini yang bisa aku lakukan yaitu menyayangi kamu dalam dekapan.

Waktu kembali bergulir. Hanya berselang bulan. Aku menapaki jejak diriku yang makin lama makin terhanyut dalam kebahagiaanku sendiri. Roda kehidupanku sedang dalam posisi puncak. Jelas terlihat oleh mataku gerombolan awan melambung tinggi di langit dengan gagah. Dan matahari yang terik bersinar menghangatkan diriku dari dinginnya kesepian. Dalam ucap aku memuji semua tentang dirinya, meninggikan namanya diatas namaku sendiri, melantunkan setiap kata-kata terbaik untuk dia yang mewarnai langitku. Bahkan berbagai sajak puitispun kalah indah. Rasanya mungkin sudah tepat ketika aku memilihnya dan dia memilihku. Benar betul definisi move on. Bergerak, maju, meninggalkan milyaran harapan yang tak akan datang lagi untuk kedua kali, dan menyongsong harapan-harapan baru yang terbesit dalam pikiran dan tertanam dalam hati bersamanya. Hanya aku, dan wanita itu sekarang, bergerak mengikuti jari-jemari angin yang berhembus mesra dari berbagai penjuru. Kebahagiaan yang aku tuju saat ini sudahlah cukup, tak perlu ditambah apalagi dikurangi. Rasanya kepercayaan yang aku dapat darinya seperti bukan main-main dan bukan juga dipermainkan. Ya, begitulah. Rasa dari seorang pria yang mendapatkan kepercayaan dari hati seorang perempuan, maka sebagai pelindungnya, laki-laki harus menggenggam erat kepercayaan itu. Benar, akulah laki-laki itu dimatanya sekarang.

Sudah aku putuskan hari itu, aku akan terus ada dalam setiap harinya. Menemani dia yang layak aku temani. Terkadang aku habiskan waktuku hingga larut malam untuk membalas pesan-pesan singkat dalam ruang chat yang hanya ada kita berdua di dalamnya. Membahas satu atau dua hal random dengan banyak bumbu komedi, bertukar cerita dengan tema ‘hari ini kamu ngapain?’, atau hanya sekedar menyapa untuk mengobati hitamnya rindu yang menusuk dikala sepi kembali datang. Tak jarang ku nyanyikan lantunan lagu yang terlintas dalam pikiranku untuknya lewat voice note dengan suaraku yang pas-pasan, agar ia tahu seberapa besar aku mengharapkan kehadirannya di sisiku malam itu. Aku mulai hanyut dan terjebak dalam ruang rindu yang sempit, yang membuat diriku tak mampu bergerak. Hanya diam, lagi-lagi hanya terdiam, menikmati detik demi detik waktu yang seakan berhenti begitu saja membunuhku ketika aku merindukannya. Inilah cinta, dan kamu gerangan, yang membuat mata dan hatiku tertutup rapat-rapat untuk orang lain.

Aku rasakan kehidupanku semakin sempurna nan lengkap. Banyak hal-hal sederhana yang membuat ujung bibir ini terangkat dan tersenyum. Aku bersyukur kepada Tuhan ketika hari ini aku dipertemukan dengannya yang kini memelukku erat. Harum, dan juga menenangkan. Jika ada lelaki yang tidak bersyukur, maka ia adalah lelaki kurang gaul, yang harus dihukum dengan mengerjakan soal kalkulus integral lipat dua seumur hidup.

Aku rasakan hatiku melukis banyak mimpi didalamnya. Mimpi-mimpi yang sangat ingin kuwujudkan dengannya. Mimpi itu seakan menjadi bayang-bayang penting yang datang ketika mataku terpejam erat. Dalam pikiranku hanya satu tujuanku, menjadi lelaki yang baik untuk diriku sendiri, lelaki yang baik untuk pasanganku, dan lelaki yang baik untuk keluargaku kelak. Setiap waktu aku berdoa pada Tuhan, dengan penuh harapan agar tujuanku tercapai dan mimpi-mimpi itu terwujud. Setiap malam pula aku bertawar diri dengan Tuhan yang Maha Mendengarkan. Tak peduli seberapa bajingannya diriku ini, yang terpenting bagiku sekarang adalah Tuhan mendengarkan perkataanku dan berharap Dia mewujudkannya suatu saat nanti. Sebelum aku terlelap, selalu aku ucapkan doa dan kata-kata rinduku yang menyelip bak daging rendang diujung gigi. Rasanya kurang enak bila tidak dilepaskan.

Setiap hari hanya kamu, kamu, dan kamu yang aku pikirkan. Yang memberiku semangat, yang memberikan aku alunan nada-nada kebahagiaan. Hanya kamu seorang yang hidup dimataku, bukan dia ataupun mereka. Mereka hanya pemeran figuran diantara kita. Hatiku sangat tinggi akan harapan. Mataku mulai buta dengan keindahan. Diriku mulai tertutup pada cahaya lain yang ada walau itu lebih indah. Bagiku mungkin hanya satu orang saja dalam hidupku karena itulah pilihanku. Bila memang salah, biarlah itu menjadi kesalahanku yang hanya aku yang mampu memaafkan diriku sendiri. Setidaknya, Tuhan telah memberikan jalan dan petunjuk baik itu terlihat maupun tidak.

Namun, ternyata hal-hal itu semu. Kebahagiaan yang ada tidak berlangsung lama. Tidak.

Perlahan, kurasakan sesuatu yang sama sekali berbeda. Ungkapan kata rindu yang sebelumnya menghiasi kini mulai redup, sapaan-sapaan hati yang terdengar kini tak lagi ada. Ia yang dahulu bercahaya kali ini mulai redup. Persamaan yang dulu dibanggakan kini menjadi perbedaan. Ini terjadi begitu cepat, sangat cepat hingga aku tak mampu mengejarnya. Hatiku berusaha menolak, berusaha meyakinkan diri bahwa ini tidaklah terjadi. Ditengah-tengah keadaan seperti ini aku berpikir mungkin suatu saat ini akan kembali menjadi lebih baik. Tapi ternyata aku tak berjalan kemanapun. Terdiam di sudut mati, menggapai mimpi yang bukan impianku atau impiannya. Aku bertanya-tanya ‘apakah ini memang seharusnya terjadi?’ ‘apakah aku hanya membuang-buang waktu yang aku dapatkan?’ dan disaat itulah aku rasakan sakit ketika ia melangkah meninggalkan aku dengan sepatah kata yang membuatku terhentak tak percaya, “aku sudah tak memiliki rasa padamu”.

Tuhan, jadi, inikah sakit hati?

Jadi Tuhan, inikah yang Engkau namakan kepedihan yang juga Engkau berikan ketika dahulu aku ditinggalkan dan kini terjadi lagi? Bahkan, terjadi begitu saja, seakan semua harapanku adalah palsu.

Kamu, beserta seluruh alasan yang membuatmu meninggalkan aku. Dimana janji itu? Dimana sang ‘tuan baru’ yang memungutku dari tempat penampungan barang bekas dan meninggikan aku seakan diriku sempurna? Hari itu harapan-harapan yang sudah aku lukiskan dalam mimpi pudar dan pupus begitu saja. Hati yang awalnya cerah kini penuh dengan amarah. Lantunan kata cinta yang setiap saat aku ucap kini berubah menjadi nada-nada sumpah serapah, kata-kata putus asa, dan kekesalan yang memuncak seiring langkah kakinya yang meninggalkan aku dalam tangis dan kehancuran. Kekecewaanku semakin mendalam ketika aku sadar bahwa ia yang katanya tak ingin membuangku ternyata melakukan hal yang sama seperti masa laluku sebelumnya. Tubuhku bergetar, rahangku gemertak, pandanganku tertunduk lesu tanpa bisa mengeluarkan air mata. Kembali, aku menjadi seseorang yang penyakitan, jatuh dalam kebobrokan psikis. Kusalahkan semuanya bahkan Tuhan sekalipun. Kusalahkan Ia yang tak sepatutnya aku salahkan karena tak mendengarkan doaku. Dimata wanita itu sekarang, aku hanya boneka tak berbentuk yang tenggelam dalam lautan salju yang dingin membeku. Jujur, aku ingin menjerit dan meneriakkan kata-kata ‘selamat tinggal, bajingan’ dengan nada tinggi padanya dan membiarkannya membenciku sekalian. Namun, tidak. Aku tidak ingin menjadi lelaki tak gaul yang dihukum mengerjakan soal kalkulus integral lipat dua seumur hidup. Itu hukuman yang paling tidak keren. Aku tak mau menyakiti orang lain. Cukuplah aku yang tersakiti oleh perkataan dan perbuatannya. Aku harus bisa menjadi anak baik, walaupun ia meninggalkan aku dengan keadaanku yang tak baik-baik saja.

Ketika ia berpaling dan memunggungi aku, seketika itulah air mataku kembali jatuh tanpa izin. Pikirku waktu itu, ternyata aku hanya sekedar bayangan di dinding, ketika ia terlelap tidur. Peluhku jatuh dengan sia-sia, harapan yang aku gantungkan sekarang terbakar kekecewaan. Luka hati yang dulu mulai terobati kembali tergores dan meningkat menjadi stadium 4. Kini terjadi kembali hal yang tak ingin aku rasakan lagi seperti masa laluku sebelumnya. Aku hanya mampu berdiri tegar dan menerima kenyataan bahwa saat ini ia melangkah ke arah yang jauh berbeda dariku, dan aku, dibuang, lagi. Terlebih, semua ini terjadi dengan tiba-tiba.

Selamat tinggal, kebahagiaan.
Selamat tinggal.
Terimakasih atas waktumu yang sangat singkat.

Kini, aku dan dia tak lagi menjadi ‘kita’. Aku dan dia berjalan pada jalannya masing-masing. Entah, apakah dia merasakan apa yang aku rasakan atau tidak. Namun bagiku cukuplah sudah. Sakit ini sudah diujung ubun-ubun, dalam kurun waktu yang tak lama, sudah dua kali aku seperti ini. Namun, perlu diketahui bahwa aku tak akan melepasnya begitu saja baik ia ataupun masa laluku yang lain. Aku akan terus memedulikannya namun hanya dalam batas-batas tertentu. Aku sadar, aku tak perlu lagi menangis, karena sesal hanyalah sesal yang akan tetap datang diujung dan menjadi ‘siswa’ yang paling terlambat masuk kelas.

Tuhan, maafkanlah aku yang menuduh-Mu yang tidak-tidak sebelumnya. Sungguh Tuhan, aku hanya khilaf.
…………….
Suatu shubuh yang dingin aku terbangun dari lelapnya tidurku. Suara sahutan jangkrik masih menggema dan memecah kesepian yang makin klop bersama suhu yang dingin. Dalam hening kala itu aku tersadar akan sesuatu. Maha Benar Tuhan, yang memiliki segala kuasa dalam membolak-balikkan hati seseorang. Betul, tak ada satu manusiapun yang hatinya tak berbalik ketika Tuhan meniupkan asma-Nya. Seseorang yang dahulu benci, bisa saja menjadi cinta. Ataupun sebaliknya, seseorang yang saling mencintai bisa saja menjadi saling benci. Namun Tuhan punya kuasa lain kali ini, kemarin, maupun masa-masa yang akan datang.

Dan seketika akupun tersadar, bahwa yang selama ini terjadi hanyalah suatu siklus dimana aku terjebak didalamnya. Dia memutar menjadi suatu lingkaran yang kembali berulang dengan beberapa tipe faktor yang berbeda. Perputaran inilah yang tak akan bisa disadari setiap hela nafas manusia hingga sesal datang di ujung. Atau paling tidak, hingga Tuhan memberikan petunjuk pada manusia yang Dia kehendaki.

Dan, ketika aku melihat langit pagi itu, rasanya tak akan pernah lagi jadi sama. Senyumku juga tak akan lagi menjadi senyum yang sama. Perasaan ini pula bukan lagi perasaan yang sama, dan cerita ini juga semoga tak akan kembali menjadi cerita yang sama. Pagi itu aku benar-benar seperti seolah-olah aku adalah orang yang baru. Terlahir tanpa tujuan dan terhempas kerasnya kerak bumi. Namun satu hal, aku merasakan Tuhan sepertinya menunjukkan sesuatu yang lain yang Ia rahasiakan kali ini. Mungkin, sesuatu itu adalah seseorang yang hari ini tidak bisa aku semogakan menjadi suatu kenyataan dengan kemungkinan yang kecil. Entah bagaimana kelanjutan cerita dan skenarionya, biar Tuhan yang nantinya mempertemukan aku dengan orang itu baik dalam waktu dekat maupun tidak. Semoga.

Perkenalkan, aku adalah manusia setengah patahan hati. Dan inilah, siklus yang terjadi.

Illustrated by : Myself