SIKLUS
A short story about me. (Oleh : Anshory)
“tak..tuk..tak..tuk..”
Suara langkah derap kakiku berlarian diantara ujung lorong
kampus menuju lahan parkir kendaraan roda dua di lantai bawah senja hari itu.
Berlinang air mata. Berundung duka dan sakit hati, menahan kesal dan amarah. Kubendung
tetes demi tetes mutiara yang jatuh dari ujung kelopak mataku dengan ujung
jari. Entah mengapa sambil aku mengumpatkan sumpah serapah yang tak pantas aku
ucapkan walau hanya dalam hati. “BAJINGAN! BANGSAT!” Makin ku ucap rasanya dada
ini semakin sesak dan tak muat menampung seluruh kekesalan batin yang sudah
memilu. Bahkan pada Tuhan-pun saat itu aku hampir tak ingat. Yang aku ingat,
hanya kata demi kata putus, yang aku baca dari sms yang masuk di handphone-ku
dari orang – yang awalnya – bertahta dengan mahkota sang ratu di hatiku yang
sedang tersayat sekarang.
Hai, perkenalkan. Aku adalah manusia setengah patahan hati.
Yang memiliki seluruh perasaan cinta pada seseorang, namun orang itu
mencintaiku dengan hanya setengah sadarnya saja. Aku juga manusia pengumpat,
pengucap sumpah serapah, pendendam, dan pendoa karma. Semua itu aku lakukan
ketika aku dalam kondisi dimana setengah hatiku dia hancurkan begitu mudahnya.
Dia pecahkan bak piring kaca yang dilemparkan ke sudut tembok. Tak jadi utuh
kembali. Teracak, dan tak bisa disatukan. Di lem? Mana mungkin.
Masih belum bisa aku lupakan isi pesan singkat yang masuk
sore itu, yang membuat aku sebegitu hancur lebur dan bak orang penyakitan.
Bukan penyakit fisik yang biasa menyerang manusia karena kuman, virus, atau bakteri.
Namun ini lebih kepada penyakit psikis dan mental untuk seorang lelaki yang
sedang membangun cinta dan harapannya selama 4 tahun –kurang lebih- totalnya. Di
ujung pesan singkatnya, ia mengucapkan sepenggal kata ‘terimakasih’ karena
telah mengisi hari-harinya selama 4 tahun belakangan. BUSUK. Sejujurnya, aku
tak mengharapkan kata-kata terimakasih palsu yang jelas-jelas keluar dengan
tujuan yang tertinggal. Siapa? Aku. Aku
yang ia tinggalkan. Maka manusia mana yang memang terima bila kasihnya ditinggalkan?
Aku berpikir, ini mungkin sebuah perputaran. Karena ada
pepatah yang sering kudengar, ketika ada pertemuan, disitulah akan terjadi
perpisahan. Mungkin bagian perpisahanlah yang sekarang sedang aku rasakan,
dengan sedikit bumbu-bumbu drama yang menyesakkan. Dari situ, ada dua kata yang
dapat aku simpulkan hari itu bahwa : Aku Dibuang.
Lalu, apa yang terjadi dengan pesan singkat itu?
Singkatnya, pesan itu tak kubalas. Pikirku, aku terlalu dungu
jika beradu debat kusir dengan seorang wanita yang merasa dirinya sedang
kehilangan cinta. Padahal, tanpa ia harus bertanyapun cinta yang ia maksud
selalu sudi memberikannya. Tanpa harus ia mencarinya pun, aku sebagai
perwujudan cintanya sudah ada di kehidupannya, dan bahkan tanpa bantuan dukun
dan wangsit dari kuburan-pun, aku sudah terkubur bersama larut kasih sayangnya.
Banyak alasan yang ia ungkap salah satu dan yang paling besar adalah jarak.
Memang, hubungan diantara kita terpisah oleh ratusan kilometer, namun bagiku
itu tak menjadi masalah serius jika satu sama lain saling mempercayai.
Kutegaskan. Jarak, waktu, perasaan, dan lain-lain itu hanya sebagai salah satu
faktor pendukung saja. Sisanya? Tergantung tingkat lebay-atau-tidak nya
seseorang dalam menjalankan faktor-faktor ini menjadi satu kesatuan yang
dinamis dan berjalan mulus mengikuti roda kehidupan. Dan pada intinya dalam
masalah ini yah mau tidak mau, tetap saja kembali lagi kepada akar masalah dari
dua kata yang aku simpulkan diatas. Aku Dibuang. Dibuang begitu saja bak boneka
bekas yang dahulu ia mainkan dengan lugu, kemudian ia taruh diatas rak berdebu,
dan saat tak terpakai, boneka itu kemudian tergantikan dengan yang baru suatu
saat nantinya.
Persetan.
Ternyata selama ini, aku berteman kasih dengan orang yang
salah.
Aku coba kembali menata kepingan-kepingan hidup yang sudah
kubuang sia-sia hanya dengan memikirkan seseorang yang tak balik memikirkan
perasaanku yang terpinggirkan oleh keegoisan. Perlahan, dengan tak pasti.
Hingga akhirnya sang boneka ini menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri,
bahwa tuan nya dahulu telah memiliki boneka mainannya yang baru. Hihihi.
Sudahlah, aku hanya berharap pada penampungan barang bekas. Semoga suatu saat
ada seseorang yang bermurah hati memungutku tanpa harus ia buang kembali. Namun
harapan, tetaplah harapan. Lagi, kucoba kembali menatap masa depan yang aku
rasa suram (terlebih perihal masalah perasaan dan cinta yang tak ada ujungnya).
Aku tau pemikiranku ini salah. Tapi, akan lebih salah bila aku diam dan
membiarkan diriku dan perasaan ini jatuh didalam keheningan sepi dan kelamnya
jurang kesakit-hatian yang menelan jutaan korban diluar sana hingga mati konyol
dengan kondisi leher patah dan lidah yang menjulur menahan sakitnya sakratul
maut karena tergantung pada seutas tali di ujung langit-langit kamar mereka.
Oh, Tuhan.. maafkan. Aku tak sekonyol itu.
Berkali aku coba melampiaskan jalur hidupku yang tak jelas.
Melampiaskan seluruhnya kepada rasa-rasa yang aku punya. Kepada bakat-bakat
yang aku miliki. Pada para rentetan pensil warna, pada untaian senar gitar,
pada ketukan-ketukan keyboard laptop, dan terutama pada dunia yang mendidikku
terlalu keras. Sambil bertanya-tanya “apa aku tidak berhak memilih?” padahal
diluar sana, dunia menyediakan banyak pilihan. Sementara hati ini masih kosong,
menunggu adanya air segar yang membasuh luka-luka yang dalam dan perih. Bukan
masalah kuat atau tidak, bukan masalah lebay atau nggak lebay, tapi ini semua
masalah mentalitas seseorang. Karena faktanya, orang yang terlihat kuat diluar,
biasanya banyak menyimpan sakit didalam.
Dan kini, aku mulai meninggalkan ia yang kini aku namakan,
masa lalu.
Suatu waktu, ketika perlahan semua mulai kembali dalam
keadaan normal, kulihat ada cahaya yang memiliki kekuatan lain yang menembus
kornea mataku. Cahaya itu datang seperti air segar yang aku maksudkan untuk membasuh
dan mengobati luka hati stadium 3. Aku sadar, ini bukan cahaya dari masa lalu,
karena yang aku tatap saat itu adalah adanya harapan.
Aku kembali mengenal seorang wanita. Namun kali ini berbeda.
Ia jauh lebih lain. Pola pikir dan tuturnya sedikit banyak membuatku mulai
menundukkan kepala dan berpikir ‘siapakah gerangan wahai engkau pembuat buta
mata dan hati?’ walau tak ku gubris sebaik-baik apapun aku. Aku mulai mencoba
menatap sosok itu, memperhatikan setiap senyum dari bibirnya yang tipis dan
rambut kecoklatannya yang tergerai, sambil menikmati malunya tatap yang
terhalang oleh lensa kacamata. Kurasakan ia dekat, namun kedekatannya tak
sedekat yang terbayang. Seakan-akan ia mencoba menarik ulur aku dengan
permainannya yang memang tak begitu membingungkan. Namun, semua hal itu menjadi
berarti ketika aku mendapati diriku sendiri tersenyum manis di depan cermin.
Mungkin saat inilah saat-saat yang aku rindukan. Menantikan kehadiran seseorang
yang melipur laraku dan bersama kembali meniti benang-benang harap yang putus
oleh tajamnya kekampretan yang aku sebut masa lalu. Saat itu aku berpikir bahwa
ia adalah cahaya. Seberkas sinar yang memberiku semangat menghadapi setiap
ganjal tantangan. Dan titik dimana aku bisa kembali menemukan potongan-potongan
hati yang telah lama aku lempar. Dan, tempat dimana aku mulai terbangun dari
mimpi buruk yang selama ini menghantui.
Kusapa kembali kebahagiaan yang datang dari jauh. Halo! Apa
kabar teman lama! Telah lama aku menunggunya penuh harap-harap cemas. Saat ia
tak datang hanya sepi sebagai temanku bernaung dibawah guyuran hujan keputus asaan.
Kebahagiaan telah kembali pulang kampung, mengisi keseharianku yang dulunya
hampa. Aku dan wanita itu. Kita, berdua. Bersama menapaki kerasnya kulit dunia yang
sekeras krupuk salah goreng. Mungkin Tuhan mulai menguji diriku dengan
memberikan dia yang saat ini jari-jemarinya aku genggam erat. Dan, mungkin juga
konyol, karena aku tak mengucapkan sepatah kata cintapun padanya. Rasa ini
mengalir begitu saja seperti aliran air sungai yang tak mau berhenti walau terbendung
bebatuan dan, ia pun menerimanya. Sakit itu kini mulai hilang. Sepi itu kini
mulai pergi, terusir oleh kedatangan dia yang merebahkan kepalanya di bahuku.
Ah, saat-saat yang menyenangkan. Untukmu, perempuanku, yang sedang dalam
pelukanku saat ini, berkeluh kesah tentang semua masalahmu dan semua beban yang
kau tanggung sendiri pada bahumu yang kecil. Berkeluhlah. Karena hanya ini yang
bisa aku lakukan yaitu menyayangi kamu dalam dekapan.
Waktu kembali bergulir. Hanya berselang bulan. Aku menapaki jejak
diriku yang makin lama makin terhanyut dalam kebahagiaanku sendiri. Roda
kehidupanku sedang dalam posisi puncak. Jelas terlihat oleh mataku gerombolan
awan melambung tinggi di langit dengan gagah. Dan matahari yang terik bersinar
menghangatkan diriku dari dinginnya kesepian. Dalam ucap aku memuji semua
tentang dirinya, meninggikan namanya diatas namaku sendiri, melantunkan setiap
kata-kata terbaik untuk dia yang mewarnai langitku. Bahkan berbagai sajak
puitispun kalah indah. Rasanya mungkin sudah tepat ketika aku memilihnya dan
dia memilihku. Benar betul definisi move on. Bergerak, maju, meninggalkan
milyaran harapan yang tak akan datang lagi untuk kedua kali, dan menyongsong
harapan-harapan baru yang terbesit dalam pikiran dan tertanam dalam hati bersamanya.
Hanya aku, dan wanita itu sekarang, bergerak mengikuti jari-jemari angin yang
berhembus mesra dari berbagai penjuru. Kebahagiaan yang aku tuju saat ini
sudahlah cukup, tak perlu ditambah apalagi dikurangi. Rasanya kepercayaan yang
aku dapat darinya seperti bukan main-main dan bukan juga dipermainkan. Ya,
begitulah. Rasa dari seorang pria yang mendapatkan kepercayaan dari hati
seorang perempuan, maka sebagai pelindungnya, laki-laki harus menggenggam erat
kepercayaan itu. Benar, akulah laki-laki itu dimatanya sekarang.
Sudah aku putuskan hari itu, aku akan terus ada dalam setiap
harinya. Menemani dia yang layak aku temani. Terkadang aku habiskan waktuku
hingga larut malam untuk membalas pesan-pesan singkat dalam ruang chat yang
hanya ada kita berdua di dalamnya. Membahas satu atau dua hal random dengan
banyak bumbu komedi, bertukar cerita dengan tema ‘hari ini kamu ngapain?’, atau
hanya sekedar menyapa untuk mengobati hitamnya rindu yang menusuk dikala sepi
kembali datang. Tak jarang ku nyanyikan lantunan lagu yang terlintas dalam
pikiranku untuknya lewat voice note dengan suaraku yang pas-pasan, agar ia tahu
seberapa besar aku mengharapkan kehadirannya di sisiku malam itu. Aku mulai
hanyut dan terjebak dalam ruang rindu yang sempit, yang membuat diriku tak
mampu bergerak. Hanya diam, lagi-lagi hanya terdiam, menikmati detik demi detik
waktu yang seakan berhenti begitu saja membunuhku ketika aku merindukannya. Inilah
cinta, dan kamu gerangan, yang membuat mata dan hatiku tertutup rapat-rapat
untuk orang lain.
Aku rasakan kehidupanku semakin sempurna nan lengkap. Banyak
hal-hal sederhana yang membuat ujung bibir ini terangkat dan tersenyum. Aku
bersyukur kepada Tuhan ketika hari ini aku dipertemukan dengannya yang kini
memelukku erat. Harum, dan juga menenangkan. Jika ada lelaki yang tidak
bersyukur, maka ia adalah lelaki kurang gaul, yang harus dihukum dengan
mengerjakan soal kalkulus integral lipat dua seumur hidup.
Aku rasakan hatiku melukis banyak mimpi didalamnya.
Mimpi-mimpi yang sangat ingin kuwujudkan dengannya. Mimpi itu seakan menjadi
bayang-bayang penting yang datang ketika mataku terpejam erat. Dalam pikiranku
hanya satu tujuanku, menjadi lelaki yang baik untuk diriku sendiri, lelaki yang
baik untuk pasanganku, dan lelaki yang baik untuk keluargaku kelak. Setiap
waktu aku berdoa pada Tuhan, dengan penuh harapan agar tujuanku tercapai dan
mimpi-mimpi itu terwujud. Setiap malam pula aku bertawar diri dengan Tuhan yang
Maha Mendengarkan. Tak peduli seberapa bajingannya diriku ini, yang terpenting
bagiku sekarang adalah Tuhan mendengarkan perkataanku dan berharap Dia
mewujudkannya suatu saat nanti. Sebelum aku terlelap, selalu aku ucapkan doa
dan kata-kata rinduku yang menyelip bak daging rendang diujung gigi. Rasanya
kurang enak bila tidak dilepaskan.
Setiap hari hanya kamu, kamu, dan kamu yang aku pikirkan.
Yang memberiku semangat, yang memberikan aku alunan nada-nada kebahagiaan.
Hanya kamu seorang yang hidup dimataku, bukan dia ataupun mereka. Mereka hanya
pemeran figuran diantara kita. Hatiku sangat tinggi akan harapan. Mataku mulai
buta dengan keindahan. Diriku mulai tertutup pada cahaya lain yang ada walau
itu lebih indah. Bagiku mungkin hanya satu orang saja dalam hidupku karena
itulah pilihanku. Bila memang salah, biarlah itu menjadi kesalahanku yang hanya
aku yang mampu memaafkan diriku sendiri. Setidaknya, Tuhan telah memberikan
jalan dan petunjuk baik itu terlihat maupun tidak.
Namun, ternyata hal-hal itu semu. Kebahagiaan yang ada tidak
berlangsung lama. Tidak.
Perlahan, kurasakan sesuatu yang sama sekali berbeda.
Ungkapan kata rindu yang sebelumnya menghiasi kini mulai redup, sapaan-sapaan
hati yang terdengar kini tak lagi ada. Ia yang dahulu bercahaya kali ini mulai
redup. Persamaan yang dulu dibanggakan kini menjadi perbedaan. Ini terjadi begitu
cepat, sangat cepat hingga aku tak mampu mengejarnya. Hatiku berusaha menolak,
berusaha meyakinkan diri bahwa ini tidaklah terjadi. Ditengah-tengah keadaan
seperti ini aku berpikir mungkin suatu saat ini akan kembali menjadi lebih
baik. Tapi ternyata aku tak berjalan kemanapun. Terdiam di sudut mati, menggapai
mimpi yang bukan impianku atau impiannya. Aku bertanya-tanya ‘apakah ini memang
seharusnya terjadi?’ ‘apakah aku hanya membuang-buang waktu yang aku dapatkan?’
dan disaat itulah aku rasakan sakit ketika ia melangkah meninggalkan aku dengan
sepatah kata yang membuatku terhentak tak percaya, “aku sudah tak memiliki rasa
padamu”.
Tuhan, jadi, inikah sakit hati?
Jadi Tuhan, inikah yang Engkau namakan kepedihan yang juga
Engkau berikan ketika dahulu aku ditinggalkan dan kini terjadi lagi? Bahkan,
terjadi begitu saja, seakan semua harapanku adalah palsu.
Kamu, beserta seluruh alasan yang membuatmu meninggalkan aku.
Dimana janji itu? Dimana sang ‘tuan baru’ yang memungutku dari tempat
penampungan barang bekas dan meninggikan aku seakan diriku sempurna? Hari itu
harapan-harapan yang sudah aku lukiskan dalam mimpi pudar dan pupus begitu
saja. Hati yang awalnya cerah kini penuh dengan amarah. Lantunan kata cinta
yang setiap saat aku ucap kini berubah menjadi nada-nada sumpah serapah,
kata-kata putus asa, dan kekesalan yang memuncak seiring langkah kakinya yang
meninggalkan aku dalam tangis dan kehancuran. Kekecewaanku semakin mendalam
ketika aku sadar bahwa ia yang katanya tak ingin membuangku ternyata melakukan
hal yang sama seperti masa laluku sebelumnya. Tubuhku bergetar, rahangku
gemertak, pandanganku tertunduk lesu tanpa bisa mengeluarkan air mata. Kembali,
aku menjadi seseorang yang penyakitan, jatuh dalam kebobrokan psikis.
Kusalahkan semuanya bahkan Tuhan sekalipun. Kusalahkan Ia yang tak sepatutnya
aku salahkan karena tak mendengarkan doaku. Dimata wanita itu sekarang, aku
hanya boneka tak berbentuk yang tenggelam dalam lautan salju yang dingin
membeku. Jujur, aku ingin menjerit dan meneriakkan kata-kata ‘selamat tinggal,
bajingan’ dengan nada tinggi padanya dan membiarkannya membenciku sekalian.
Namun, tidak. Aku tidak ingin menjadi lelaki tak gaul yang dihukum mengerjakan
soal kalkulus integral lipat dua seumur hidup. Itu hukuman yang paling tidak
keren. Aku tak mau menyakiti orang lain. Cukuplah aku yang tersakiti oleh
perkataan dan perbuatannya. Aku harus bisa menjadi anak baik, walaupun ia
meninggalkan aku dengan keadaanku yang tak baik-baik saja.
Ketika ia berpaling dan memunggungi aku, seketika itulah air
mataku kembali jatuh tanpa izin. Pikirku waktu itu, ternyata aku hanya sekedar
bayangan di dinding, ketika ia terlelap tidur. Peluhku jatuh dengan sia-sia,
harapan yang aku gantungkan sekarang terbakar kekecewaan. Luka hati yang dulu
mulai terobati kembali tergores dan meningkat menjadi stadium 4. Kini terjadi
kembali hal yang tak ingin aku rasakan lagi seperti masa laluku sebelumnya. Aku
hanya mampu berdiri tegar dan menerima kenyataan bahwa saat ini ia melangkah ke
arah yang jauh berbeda dariku, dan aku, dibuang, lagi. Terlebih, semua ini
terjadi dengan tiba-tiba.
Selamat tinggal, kebahagiaan.
Selamat tinggal.
Terimakasih atas waktumu yang sangat singkat.
Kini, aku dan dia tak lagi menjadi ‘kita’. Aku dan dia
berjalan pada jalannya masing-masing. Entah, apakah dia merasakan apa yang aku
rasakan atau tidak. Namun bagiku cukuplah sudah. Sakit ini sudah diujung
ubun-ubun, dalam kurun waktu yang tak lama, sudah dua kali aku seperti ini.
Namun, perlu diketahui bahwa aku tak akan melepasnya begitu saja baik ia
ataupun masa laluku yang lain. Aku akan terus memedulikannya namun hanya dalam
batas-batas tertentu. Aku sadar, aku tak perlu lagi menangis, karena sesal hanyalah
sesal yang akan tetap datang diujung dan menjadi ‘siswa’ yang paling terlambat
masuk kelas.
Tuhan, maafkanlah aku yang menuduh-Mu yang tidak-tidak
sebelumnya. Sungguh Tuhan, aku hanya khilaf.
…………….
Suatu shubuh yang dingin aku terbangun dari lelapnya tidurku.
Suara sahutan jangkrik masih menggema dan memecah kesepian yang makin klop
bersama suhu yang dingin. Dalam hening kala itu aku tersadar akan sesuatu. Maha
Benar Tuhan, yang memiliki segala kuasa dalam membolak-balikkan hati seseorang.
Betul, tak ada satu manusiapun yang hatinya tak berbalik ketika Tuhan meniupkan
asma-Nya. Seseorang yang dahulu benci, bisa saja menjadi cinta. Ataupun
sebaliknya, seseorang yang saling mencintai bisa saja menjadi saling benci. Namun
Tuhan punya kuasa lain kali ini, kemarin, maupun masa-masa yang akan datang.
Dan seketika akupun tersadar, bahwa yang selama ini terjadi
hanyalah suatu siklus dimana aku terjebak didalamnya. Dia memutar menjadi suatu
lingkaran yang kembali berulang dengan beberapa tipe faktor yang berbeda.
Perputaran inilah yang tak akan bisa disadari setiap hela nafas manusia hingga
sesal datang di ujung. Atau paling tidak, hingga Tuhan memberikan petunjuk pada
manusia yang Dia kehendaki.
Dan, ketika aku melihat langit pagi itu, rasanya tak akan
pernah lagi jadi sama. Senyumku juga tak akan lagi menjadi senyum yang sama.
Perasaan ini pula bukan lagi perasaan yang sama, dan cerita ini juga semoga tak
akan kembali menjadi cerita yang sama. Pagi itu aku benar-benar seperti
seolah-olah aku adalah orang yang baru. Terlahir tanpa tujuan dan terhempas
kerasnya kerak bumi. Namun satu hal, aku merasakan Tuhan sepertinya menunjukkan
sesuatu yang lain yang Ia rahasiakan kali ini. Mungkin, sesuatu itu adalah
seseorang yang hari ini tidak bisa aku semogakan menjadi suatu kenyataan dengan
kemungkinan yang kecil. Entah bagaimana kelanjutan cerita dan skenarionya, biar
Tuhan yang nantinya mempertemukan aku dengan orang itu baik dalam waktu dekat
maupun tidak. Semoga.
Perkenalkan, aku adalah manusia setengah patahan hati. Dan
inilah, siklus yang terjadi.
Illustrated by : Myself |